Dalam manajemen pengetahuan, terdapat persoalan dan kebingungan yang terjadi baik yang menyangkut konsepsi pengetahuan itu sendiri maupun praktek manajemen pengetahuan. Selain itu, semakin luas dan kompleksnya kajian manajemen pengetahuan dapat memperparah kebingungan tersebut. Alternatif solusinya adalah: pertama, melakukan klarifikasi atas konsepsi pengetahuan; dan yang kedua, mengupayakan pemetaan atas hasil kajian manajemen pengetahuan yang ada selama ini. Manfaat dari upaya ini tentu menyediakan petunjuk bagi praktek manajemen pengetahuan dan arahan bagi solusi atas persoalan pengetahuan dalam organisasi, serta memberikan peta peluang bagi pengembangan teori manajemen pengetahuan.
Kata kunci : Manajemen pengetahuan
Menarik sekali untuk menyimak apa yang diungkapkan oleh Scott (2000 : 20) bahwa rata-rata usia perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune100 hanya berkisar 42 tahun. Usia ini jelas jauh di bawah rata-rata usia negara berdaulat yang mampu mempertahankan kedidupannya selama sekitar 200 tahunan. Meski demikian, kelangsungan hidup dua jenis organisasi ini masih sangat jauh dibawah usia tujuh agama besar di dunia, yakni Islam, Budha, Tao, Kong Hu Cu, Hindu, Yahudi, dan Kristen. Mereka telah berusia ratarata lebih dari 1500 tahun. Bahkan pemeluk tujuh agama tersebut secara keseluruhan mencakup lebih dari 75% jumlah penduduk dunia. Sajian tersebut sangat penting untuk diungkapkan sebagai fakta awal untuk menguji berbagai strategi kontemporer organisasi yang terus berkembang. Banyak strategi terlalu berorientasi pada tujuan jangka pendek dengan semata menekankan pencapaian efisiensi, maksimasi laba, perluasan pasar, dan lain sebagainya. Persoalan mulai muncul ketika aspek kelangsungan hidup (sustainability) menjadi tuntutan yang mutlak harus diperhatikan dan dipenuhi oleh setiap organisasi.
KELANGSUNGAN HIDUP ORGANISASI
Ada dua faktor yang dihadapi oleh organisasi yang menyangkut kelangsungan hidupnya. Pertama adalah perubahan lingkungan bersaing, dan yang kedua adalah pengaruh kuat dari nilai “shareholder”. Tekanan kuat untuk beradaptasi dan adanya tuntutan keunggulan bersaing telah menghasilkan periode perubahan dan reinvensi organisasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Scott menyebut adanya tujuh gelombang utama reinvensi yang telah terjadi selama ini, yakni gerakan kualitas, downsizing, kompetensi inti dan outsourcing, rekayasa, merjer dan akuisisi, komputerisasi jaringan, dan pemberdayaan.
Untuk menghadapi faktor penekan kelangsungan hidup organisasi tersebut diperlukan kekuatan tertentu yang mampu menciptakan dan menjaga kemampuan inti suatu organisasi. Memasuki era global yang diikuti dengan turbulensi perubahan lingkungan, maka kekuatan tersebut berbasis pada pengetahuan (knowledge). Huseini (1999) mengungkapkan bahwa ada pergeseran dari pendekatan market-based menuju resource-based, dalam menyusun kekuatan organisasi. Pendekatan kedua dapat ditelusuri dalam tiga strategic resources dalam organisasi, yakni tangible resources, intangible resources, dan very intangible resources. Ketiga sumber daya tersebut akhirnya juga bermuara pada pengetahuan Senada dengan pandangan ini dikemukakan oleh Barton (1995) yang menyimpulkan bahwa lingkungan yang berubah dengan cepat dan yang akan berlangsung terus di masa depan harus direspons dan dihadapi dengan mencari stabilitas yang mendasari ketidakpastian yang terjadi. Stabilitas ini terletak pada pengetahuan yang dimanifestasikan dalam kemampuan inti (core capabilities).
M
eski demikian, knowledge management, yang semula diprakarsai lebih dari dua puluh tahun yang lalu dan berkembang pesat pada tahun 1990- an, masih menyimpan sejumlah masalah dan kebingungan. Kajian Zolingen, Streumer, dan Stooker menunjukkan bahwa ada persoalan yang berkaitan dengan proses manajemen pengetahuan, terutama pada proses memperoleh, mengkodifikasi, dan mendiseminasi pengetahuan. Selain itu, yang lebih menarik lagi adalah hasil kajian De Long dan Seemann yang mengungkapkan adanya kebingungan konsepsi dan konflik dalam praktek manajemen pengetahuan.
KEBINGUNAN DALAM MANAJEMEN PENGETAHUAN
Ulasan berikut ini diupayakan untuk mengurai dan memperjelas kebingungan konsepsi manajemen pengetahuan daripada konflik yang terjadi. Hal ini dilakukan untuk memperkuat pondasi pemahaman konseptual mengenai manajemen pengetahuan sekaligus diharapkan dapat mengurangi potensi masalah dan konflik dalam implementasinya.
Manajemen pengetahuan seringkali digambarkan sebagai pengembangan alat, proses, sistem, struktur, dan kultur yang secara eksplisit meningkatkan kreasi, penyebaran, dan pemanfaatan pengetahuan yang penting bagi pengambilan keputusan. Definisi seperti ini dianggap luas sehingga seringkali menimbulkan kebingungan dalam praktek dan memicu konflik antar bagian dalam organisasi. Sumber kebingungan konseptual berasal dua hal, yakni : dimensi konseptual manajemen pengetahuan, serta perspektif yang berbeda tentang manajemen pengetahuan (De Long & Seemann, 2000).
Manajemen pengetahuan memiliki beragam dimensi yang muncul karena keluasan dan kompleksitasnya sendiri sehingga diskusi yang terjadi seringkali didasarkan pada asumsi yang tak teruji, tingkatan analisis yang berbeda, derajat pengalaman yang beragam, serta tujuan yang berbeda. Bahkan jika orang-orang yang bekerja dalam bagian atau unit kerja yang sama membahas dan mempraktekkan manajemen pengetahuan, maka potensi terjadinya kesalah-pahaman tetap besar karena tiap orang memiliki karakter pengetahuan yang berbeda yang ada di dalam benaknya.
Selain itu, pemahaman atas manajemen pengetahuan setidaknya telah berkembang menjadi empat perspektif yang berbeda. Perspektif ini menunjukkan adanya pengaruh kuat peran seseorang di dalam organisasi ketika mengintegrasikan manajemen pengetahuan dalam implementasi jangka panjang. Berbagai perspektif tersebut adalah : perspektif strategi atau kepemimpinan, yang terjadi ketika eksekutif senior memandang manajemen pengetahuan terutama sebagai cara untuk menunjang pencapaian tujuan strategis dan persepsi pasar modal atas intangible assets.
Perspektif praktek atau isi pengetahuan, ketika pandangan ini dipegang oleh manajer lini yang berpengalaman karena ia sangat peduli dengan dengan pengetahuan apa yang harus dikelola dan bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan dalam praktek. Perspektif teknologi, yang didasarkan pada peran teknologi informasi yang memandang manajemen pengetahuan sebagai suatu produk penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Perspektif rekayasa atau manajemen perubahan, yang biasanya dianut oleh para spesialis pengembangan SDM dan organisasi, atau ahli internal dalam rekayasan proses bisnis (BPR). Pandangan terakhir tersebut lebih menekankan pada perubahan dalam desain kerja, struktur organisasi, dan budaya organisasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan pengetahuan.
Selain empat perspektif di atas, masih dimungkinkan terjadinya kombinasi di antara beberapa perspektif tersebut sehingga manajemen pengetahuan menghadapi banyak aspek dalam tataran praktis. Kondisi ini tentu memperlebar rentang interpretasi yang semakin membingungkan baik secara konseptual maupun praktis.
Jika disimak lebih mendalam, kebingungan tersebut berawal dari perbedaan penafsiran tentang makna pengetahuan itu sendiri, sehingga berpengaruh terhadap kebingungan dalam manajemen pengetahuan. Persoalan akan selalu muncul dan berkembang eskalasinya, jika antar pribadi yang terlibat dalam proses manajemen pengetahuan memiliki konsepsi dan asumsi yang berbeda mengenai ruang lingkup dan jenis pengetahuan. Kejelasan pada aras ini jelas sangat penting karena berpengaruh kuat bagi proses manajemen selanjutnya. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya bertujuan untuk mengurangi kebingungan tersebut dengan memperjelas perkembangan konsepsi pengetahuan dan peta kajian manajemen pengetahuan.
KLASIFIKASI ISTILAH PENGETAHUAN
Terminologi pengetahuan seringkali dijumbuhkan dengan data dan informasi. Jika tidak diperjelas perbedaannya, maka akan mengakibatkan kebingungan yang terus berkembang karena pemanfaatannya akan tumpang tindih dengan banyak disiplin ilmu yang terfokus pada aras data dan informasi. Dengan mengacu pada pandangan Davenport, Prusak, dan Peter Drucker, perbedaan antara data, informasi, dan pengetahuan dijelaskan dengan sangat baik oleh Zolingen, Streumer, dan Stooker (2001). Data merupakan sekumpulan fakta tentang kejadian yang bersifat obyektif dan diskret.
Sementara informasi adalah data yang dilengkapi dengan relevansi dan tujuan. Data berubah menjadi informasi ketika seseorang memberi makna terhadap data. Ketika seseorang menyampaikan makna tersebut, dari sudut pandangnya, berarti ia telah mentransmisikan informasi. Seseorang disebut membicarakan pengetahuan ketika informasi telah mendapat tempat dalam kerangka acuan pengguna sehingga pengguna tersebut meng hubungkan tindakannya dengan kerangka acuan tersebut.
Buckley & Carter (2000) lebih menyukai pandangan yang mengungkapkan bahwa data, informasi, dan pengetahuan merupakan suatu hierarki yang meningkatkan makna, kedalaman, dan relevansi terhadap tindakan. Informasi merupakan data yang ditafsirkan, dengan makna yang tidak dimiliki oleh data sederhana. Sementara pengetahuan merupakan informasi terstruktur, yang mengungkap keterkaitan, wawasan dan generalisasi, yang tidak dimiliki oleh informasi yang sederhana.
Istilah pengetahuan (knowledge) yang semula dipahami oleh para filosof barat (dimotori oleh Plato) adalah justified true beliefs. Namun demikian, Nonaka dan Takeuchi mengkritik konsep tersebut sebagai terlalu rasional dan berasal dari proses mental ideal yang mengenyampingkan hasil pengalaman inderawi. Konsep tersebut gagal dalam menyentuh dimensi pengetahuan yang bersifat relatif, dinamis, dan humanistis(Nonaka, Toyama, & Konno, 2000).
Konsep Barat tersebut hanya mengakui pengetahuan yang bersifat eksplisit, sementara pengetahuan pada saat yang bersamaan juga mencakup tacit knowledge. Tacit berarti sesuatu yang tidak dengan mudah dilihat dan diekspresikan. Ia berakar dalam tindakan dan pengalaman pribadi, seperti halnya dambaan, nilai, ataupun emosi. Wawasan dan intuisi subyektif juga masuk dalam kategori ini. Pengetahuan tacit sangat bersifat pribadi dan sulit diformalisasikan (Nonaka dan Takeuchi, 1995 : 8-21).
Davenport dan Prusak (dalam Zolingen, Streumer, dan Stooker, 2001 mengungkapkan bahwa pengetahuan) bersifat personalized dan dipengaruhi oleh banyak hal. Ia merupakan ramuan cair dari pengalaman berkerangka, nilai, informasi kontekstual, wawasan ahli yang memberikan kerangka kerja untuk mengevaluasi dan menggabungkan pengalaman baru dan informasi. Dalam organisasi, pengetahuan seringkali melekat tidak hanya di dalam dokumen, tetapi juga rutinitas, proses, praktek, dan sekaligus norma keorganisasian. Dalam hal ini ada pengakuan bahwa pengetahuan merupakan realitas yang dikonstruksi secara sosial, dipengaruhi oleh kepercayaan dan nilai pribadi, ditempa dalam irama sehari-hari, dan dapat dilihat dari produk dan jasa organisasi. Dengan demikian, pengetahuan memanglah rumit karena bersifat perorangan, sehingga menyulitkannya untuk distandarisasi dan disebarkan secara efektif kepada yang lainnya.
Pengertian yang lebih moderat dan sekaligus mengakui kedua jenis pengetahuan tersebut (tacit dan explicit) sekaligus mengakui bahwa ia merupakan kekayaan dari sebuah organisasi disampaikan oleh Scott (2000 : 6), yang mendefinisikannya sebagai the collective intellectual assets of employees.Scott menandaskan bahwa pengetahuan berbeda dengan data dan informasi. Bank-data ada di dalam server, rak, maupun tempat penyimpanan arsip lainnya. Ia tidak membuat pintar organisasi. Data hanyalah benda mati. Ia merupakan sebuah artefak. Sementara pengetahuan merupakan aset abstrak yang tersimpan di dalam benak orang-orang di dalam organisasi.
Orang-orang yang berpengetahuan(knowledgable people) inilah yang membuat pintar organisasi. Mereka merupakan kekuatan utama organisasi dalam menghadapi berbagai rupa dan kecepatan perubahan di masa depan. Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa konsepsi pengetahuan bisa menimbulkan masalah tersendiri dalam manajemen pengetahuan. Dari uraian di atas, semakin jelas bahwa pengetahuan adalah hal yang berbeda dari data dan informasi meskipun masih juga terkait dengannya. Pengetahuan mencakup dua jenis, yakni tacit dan explicit. Ia bersifat pribadi dan melekat dalam berbagai hal dalam organisasi. Pengetahuan juga merupakan aset utama bagi organisasi. Kejelasan mengenai konsepsi pengetahuan ini dapat membantu mempermudah proses praktek manajemen pengetahuan, meskipun tidak berarti mampu menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada.
PETA KAJIAN MANAJEMEN PENGETAHUAN
Selanjutnya perlu dibahas mengenai peta kajian manajemen pengetahuan yang telah dan terus berkembang. Manajemen pengetahuan telah didiskusikan dalam beragam disiplin. Ia bukan merupakan disiplin tersendiri namun berupa sekumpulan masalah yang didekati dengan cara yang berbeda dalam tradisi yang berbeda pula. Banyak sekali penyumbang bagi literatur manajemen pengetahuan. Akibatnya, tanpa taksonomi yang jelas atas beragam kajian, penelitian, dan praktek tersebut tentu akan membingungkan baik bagi mereka yang hendak mendalami bidang ini maupun yang hendak mempraktekkannya.
Ilkka Tuomi (1999) telah membantu mengurangi kebingungan tersebut dengan melakukan taksonomi yang sangat bermanfaat untuk memetakan literatur manajemen pengetahuan. Ia mengungkapkan bahwa manajemen pengetahuan dapat didekati dari tiga arah yang berbeda. Yang pertama menekankan pada kognisi dan kecerdasan organisasi; yang kedua pada strategi dan pengembangan organisasi; dan yang terakhir menekankan pada sistem informasi organisasi dan pemrosesan informasi. Tuomi sendiri mengakui bahwa pembagian tersebut tidaklah bersih dan masih memungkinkan terjadinya tumpang tindih, namun pengelompokan ini memiliki tradisi penelitiannya sendiri yang tidak selalu dikenal dengan baik di luar batas-batas disiplinnya sendiri. Disiplin pertama, yakni kecerdasan organisasi (organizational intelligence) diartikan sebagai cara organisasi dan anggotanya mempersepsi, memahami, dan mempelajari lingkungannya.
Dengan menggunakan metafora kecerdasan, dapat ditelusuri beragam tradisi penelitian yang masuk dalam perspektif ini telah terpusat pada persepsi, sensemaking, pembelajaran, dan memori organisasi. Fokus persepsi memiliki tradisi penelitian kecerdasan bersaing (competitive intelligence), yang berarti cara organisasi mengumpulkan dan menganalisa informasi mengenai situasi persaingan dan pengembangan pasar. Tindakan yang cerdas dilihat sebagai hasil dari akuisisi, kategorisasi, distribusi, dan penggunaan informasi secara efektif. Selama ini, tugas tresebut diorganisir di seputar unit perencanaan strategis, pusat pelayanan informasi, dan unit intelijensi bisnis terspesialisasi. Perkembangan terakhir, jaringan kerja intelijensi bisnis telah dikonseptualisasi sebagai jaringan terpencar yang mengumpulkan dan memproses rumor, memberi akses terhadap sumber pengetahuan eksternal dan internal, serta memberikan informasi analisis bagi pengambilan keputusan strategis. Beberapa contoh kajian yang termasuk dalam tradisi penelitian ini adalah Aguilar (1967), Porter (1980), Ghoshal & Westney(1991), Stanat (1990), Fuld (1996), Gilad& Gilad (1988), dan Choo (1998a).
Fokus sensemaking memiliki tradisi penelitian kognisi manajerial dan organisasi yang secara eksplisit mengadopsi pandangan kognitif terhadap organisasi. tradisi penelitian ini berdasarkan pada penelitian dalam sensemaking, kategorisasi, dan struktur pengetahuan manusia. Tradisi ini dipengaruhi oleh psikologi sosial (yang berdampak kuat pada penelitian organizational sensemaking) dan cognitive science (pada penelitian model dan peta mental bersama dalam organisasi). Literatur dalam bidang ini sangat banyak dan berkembang dengan cepat. Contohnya antara lain : Weick (1995), Daft & Lengel (1984), Bougon (1992), Lyles & Schwenk (1992), Dutton (1993), Thomas & McDaniel (1990), Sims & Gioia (1986), Spender (1989), dan Sparrow (1998).
Fokus memori mempunyai tradisi penelitian organizational memory yang kini dipergunakan secara luas dan dapat didekati dari beberapa tradisi penelitian yang mandiri dan berbeda, mulai dari sudut pandang sistem informasi, pengembangan sumber daya manusia, intelijensi bisnis, dan organizational unlearning and routines. Hasilnya, metafor dan konstruk memori organisasi mempunyai penafsiran ganda. Penggunaannyapun bervariasi di antara tradisi penelitian tersebut. Sebagai contoh, beberapa peneliti menghubungkan memori organisasi dengan database sementara yang lainnya menghubungkannya dengan individu, aktivitas organisasi, maupun budaya. Tuomi (1999) menyarankan bahwa secara ontologis, memori organisasi seharusnya dibatasi dalam konteks kecerdasan organisasi. literatur yang menjadi contoh dalam tradisi penelitian ini meliputi : Walsh & Ungson (1991), Stein & Zwass (1995), El Sawy, et.al. (1986), Tuomi (1993b), Kuutti & Virkkunen (1995), Morrison (1993), Huber (1990), Orr (1990), Neustadt & May (1986), Douglas(1987), Nelson & Winter (1982).
Fokus pembelajaran mempunyai tradisi penelitian yang beragam dan berhubungan dekat dengan pendekatan kognitif dalam manajemen pengetahuan. Seringkali sulit untuk membedakan pembahasan atas manajemen pengetahuan dengan pembelajaran organisasi, karena mereka memperhatikan kurang lebih pada masalah yang sama. Suatu topik inti dalam manajemen pengetahuan, yakni kreasi pengetahuan, juga merupakan isu sentral dalam pembelajaran organisasi.
Suatu topik utama pembelajaran organisasi, yakni difusi inovasi dan praktek keorganisasian, juga merupakan masalah utama dalam manajemen pengetahuan. Seseorang dapat dengan mudah berargumentasi bahwa pembelajaran organisasi merupakan satu bidang kunci dalam teori manajemen pengetahuan, dan bahwa organisasi pembelajaran merupakan organisasi yang mengelola proses pengetahuannya. Kontribusi teoritis terhadap pembelajaran organisasi dapat dikategorisasikan berada dalam disiplin kecerdasan organisasi. Tetapi ia juga terkait erat dengan disiplin pengembangan organisasi, termasuk pengembangan strategi, pengembangan proses, dan pengembangan sumber daya manusia.
Pembelajaran organisasi dalam disiplin kecerdasan organisasi dapat didekati dari empat arah, pertama menekankan pada munculnya gagasan dan desain baru dari eksplikasi tacit knowledge (Nonaka & Takeuchi, 1995); kedua mengadopsi pandangan sistem terhadap kemampuan yang mendasari pembelajaran organisasi, yang mengaku bahwa organisasi menjadi organisasi pembelajaran jika ia mengelola proses pembelajaran dan mengembangkan systems thinking (Espejo, 1996); ketiga memusatkan pada rintangan perilaku dan kognitif atas pembelajaran (Argyris, 1993; Schon, 1983; Schein, 1993); keempat mendekati pembelajaran dari perspektif sosial, budaya, dan perkembangan, dengan memusatkan perhatian pada mekanisme sosial yang mendasari pembelajaran(Brown & Duguid, 1991). Literatur penting lainnya dalam fokus ini adalah Senge (1990), Levit & March (1988), March (1994), Garvin (1993), Starbuck (1992), Kanter (1988), Daft & Huber (1987), dan Miettinen (1998a).
Disiplin kedua, pengembangan organisasi mendekati manajemen pengetahuan dari perspektif yang lebih analitis dan intervensionis. Beberapa fokus yang termasuk dalam disiplin ini adalah: manajemen aset pengetahuan, pengembangan kerja dan sumber daya manusia, kompetisi berbasis pengetahuan, dan pengembangan proses. Fokus manajemen aset pengetahuan berusaha memahami pengetahuan sebagai suatu sumber daya serta berupaya memahami nilai dari aset pengetahuan di dalam organisasi. tradisi penelitian yang tercakup dalam fokus ini ada dua, yakni ekonomi pengetahuan, dan modal intelektual (intellectual capital). Literatur yang termasuk dalam kategori ekonomi pengetahuan meliputi antara lain Tobin (1978), Romer (1998a), Arthur (1989), David (1985), Stoneman (1995), Earl (1996), Strassmann (1998). Sementara karya yang termasuk dalam tradisi modal intelektual adalah Sveiby (1997), Edvinson & Malone (1997), Dow Chemical (1994), Stewart (1997), Brooking (1996), Lynn (1998), Srivastava (1998), Roos & Roos (1997), Klein (1998).
Sementara itu, fokus pengembangan sumber daya manusia memiliki dua tradisi penelitian. Pertama, pengembangan keterampilan dan kompetensi yang meliputi literatur : Sackmann, Flamholtz & Bullen (1989), Dawson (1994), dan Miller (1996). Kedua, pengembangan kerja berbasis pengetahuan, yang mencakup pengembangan tim kerja, budaya organisasi dan praktek kerja yang mendukung inovasi dan kreativitas. Semua ini dipandang sebagai faktor kunci bagi keberhasilan organisasi. contoh literatur yang masuk tradisi ini adalah : Humphrey (1987), Katzenbach & Smith (1993), Amabile (1988), Kanter (1988), Leonard-Barton (1995), Leonard & Sensiper (1998), Engestrom (1987, 1999), Virkkunen, Helle, & Poikela (1997), Miettinen & Hasu (1997).
Fokus berikutnya adalah kompetisi berbasis teknologi yang telah mendekati manajemen pengetahuan dari tingkatan analisis keorganisasian. Tradisi penelitian dalam fokus ini berkisar pada strategi bisnis dan desain organisasi. Contoh karya yang termasuk dalam tradisi ini adalah Burns & Stalker (1994) yang mendiskusikan peningkatan inovasi dan pengetahuan dengan memusatkan perhatian pada struktur organisasi dan manajerial yang membisakan inovasi organisasi. Senada dengan hal tersebut, Bartlett & Ghoshal (1989), serta Gupta & Govindarajan(1991) membahas pembagian karyawan diantara unit bisnis yang beragam dalam satu perusahaan, dan cara perusahaan multinasional seharusnya mengorganisir arus pengetahuannya. Selain itu, pendekatan berbeda dari karya berpengaruhnya Hamel dan Prahalad (1990) telah mempopulerkan gagasan mengenai organisasi yang bersaing berdasar kemampuan yang dimilikinya. Karya lain yang masuk dalam fokus ini antara lain Jarillo & Martinez (1990), Egelhoff (1982), Quin (1992), Hedlund(1994), Savage (1996), Klein & Kass(1991), Stalk, Evans, & Shulman (1992), dan Nahapiet & Ghoshal (1998).
Fokus terakhir dari disiplin pengembangan organisasi ini adalah pengembangan proses yang berupaya memusatkan perhatian pada aspek aktivitas pengetahuan di tingkat organisasi. Tradisi penelitian yang termasuk dalam fokus ini adalah BPR(Business Process Reengineering) dan TQM (Total Quality Management). Literatur yang dikategorikan ada dalam tradisi penelitian ini termasuk diantaranya Davenport (1993), Sviokla (1996), Imai (1989), dan Garvin (1988). Disiplin yang ketiga adalah pemrosesan informasi pada tingkatan organisasi. meskipun pembahasan struktur keorganisasian diarahkan pada tingkatan makro dari arus informasi organisasi, secara lebih ekstensif hal ini dibahas dari sudut pandang aliran pesan pada tingkatan mikro. Sebagai kebalikan dari struktur pada tingkatan makro, pandangan ini memusatkan perhatian pada pola komunikasi dalam suatu organisasi (lihat Teece, 2000). Tuomi (1999) menandaskan bahwa disiplin ini menekankan fokusnya pada komunikasi organisasi, pembagian informasi (sharing), dan pemrosesan informasi. Khusus untuk dua fokus terakhir, manajemen pengetahuan terkait erat dengan sistem informasi. Fokus komunikasi organisasi telah menerima perhatian yang sangat berarti, dengan meliputi tradisi penelitian aliran informasi, jaringan kerja komunikasi informal, dan otomasi aliran kerja. Karya yang berkenaan dengan jaringan kerja informal telah mengarah pada minat susunan ruangan kantor yang memberikan peluang bagi terciptanya pertemuan acak antar manusia. Literatur tersebut mencakup : Allen & Cohen (1969), Granovetter (1973), Kreiner & Schultz, (1993). Sementara itu, penelitian tentang komunikasi organisasi dan penyampaian pesan telah mempengaruhi tradisi lain, yakni desain sistem komunikasi bermediasi komputer dan otomasi aliran kerja, dengan contoh literatur : Flores, Graves, Hartfield, & Winogard (1988), Malone, Grant, et.al., (1987), dan Sproull & Kiesler (1991). Contoh karya lain yang masuk dalam fokus ini adalah : Harasim (1993), Stohl& Redding (1987), O’Reilly, et al. (1987), Stevenson & Gilly (1991), Huber & Daft (1987), Zack (1993), Panko (1992), Mumby (1988), dan Goldhaber (1993), serta Biemans (1995).
Beberapa tradisi penelitian mengembangkan alat untuk membantu fokus pembagian (sharing) informasi baik di dalam maupun di antara organisasi. alat ini dimaksudkan untuk diterapkan dengan menggunakan sistem informasi. Tradisi penelitian yang termasuk dalam fokus ini adalah sistem kolaborasi, pemodelan perusahaan, representasi data, dan representasi pengetahuan. Tradisi yang terakhir ini menarik karena dimaksudkan untuk membantu mewakili pengetahuan manusia dalam bentuk yang dapat diproses oleh komputer. Hal ini telah dipelajari secara khusus dalam intelijensia artifisial dan konteks sistem pakar yang ditunjukkan oleh karya Boose(1986), Gaines (1994), Lenat, et al. (1990). Banyak literatur yang dapat dikategorikan dalam fokus ini, antara lain : Ciborra (1996), Morrison & Liu Sheng (1992), Morrison (1993), Boland, et al. (1994), Schrage (1990), Jarvenpaa & Ives (1994), Favela (1997), Marshak (1995), Frost (1986), Steels (1993), Bobrow & Winograd (1977), Shaw & Woodward (1990), Lamersdorf, et al(1988), Katz (1990), Martin (1998), dan Batini et al. (1992).
Fokus yang ketiga dalam disiplin pemrosesan informasi organisasi adalah pemrosesan informasi, yang dilaksanakan dalam konteks pemrosesan otomatik informasi untuk mendukung pengambilan keputusan organisasi. Fokus ini bermula dari tradisi penelitian sistem informasi manajemen (misalnya Gorry & Scott Morton, 1971), lalu perhatian beralih pada sistem pendukung keputusan (Decision Support System) dan kemudian pada ssitem informasi eksekutif (Executive Information System). Gagasan yang mendasari semua tradisi ini adalah bagaimana menggunakan komputer untuk memproses informasi sehingga ia dapat dipergunakan untuk mendukung manajemen organisasi.
Perkembangan terakhir menunjukkan adanya minat nyata terhadap penemuan berbasis komputer dan terhadap penyaringan pengetahuan, seperti misalnya pengilangan informasi (information refineries) dan penambangan data (data mining). Literatur yang dapat dikategorikan masuk dalam fokus ketiga ini antara lain : Rockart & DeLong (1988), Watson, et al. (1991, 1993), Walls et al (1992), Benbasat & Naul (1990), Ramaprasad (1987), Millet & Mawhinney (1992), Watterson (1994), Gibson (1991), Fjermestad, et al. (1993), Silver (1991), Michie (1983), dan Schmitz, et al. (1990).
Setelah menyimak peta kajian manajemen pengetahuan yang telah berkembang tersebut, maka semakin mudah bagi untuk dipahami betapa luas dan kompleksnya cakupan dari disiplin manajemen pengetahuan ini. Peta kajian ini mempermudah mereka yang berusaha mengembangkan manajemen pengetahuan baik dalam aras praktek maupun teoritis. Peta ini juga dapat mengeliminasi kebingungan yang muncul akibat begitu banyaknya literatur yang mematok istilah yang sama, yakni manajemen pengetahuan. Bagi para akademisi, peta tersebut membantu mereka untuk mengambil spesifikasi tertentu yang hendak dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang dialami. Bagi praktisi, peta tersebut membantu mereka memilih dan memilah bidang atau pendekatan apa yang hendak mereka pergunakan dalam membantu memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Namun dibalik ini semua, masalah belumlah usai karena tidaklah mudah mengintegrasikan semua kajian tersebut ke dalam satu disiplin yang utuh, sehingga menghasilkan pendekatan yang lebih komprehensif bagi manajemen pengetahuan. Perlu pula disadari bahwa latar belakang munculnya begitu banyak kajian, pendekatan, dan tradisi penelitian seperti yang diungkapkan diatas disebabkan oleh beragam dan kompleksnya persoalan praktek yang ada yang ternyata didekati melalui cara yang berbeda pula (lihat pula Scarbrough & Swan, 2001). Keberagaman ini berarti menunjukkan adanya solusi pengetahuan yang berbeda-beda terhadap persoalan pengetahuan yang berbeda pula. Hal ini bisa ditafsirkan pula sebagai banyaknya alternatif bagi pemecahan masalah sekaligus adanya peluang yang beragam bagi pencapaian tujuan organisasi.
PENUTUP
Kelangsungan hidup organisasi merupakan isu vital yang dihadapi oleh organisasi dengan beragam sikap dan tindakan. Ada dua pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi persoalan kelangsungan hidup ini, yakni market-based dan resource-based. Bagi pendekatan yang kedua ini, pengetahuan merupakan faktor kunci dalam menempa kemampuan inti organisasi dalam menghadapi perubahan yang terus berlangsung dengan arah yang tak terduga di masa depan. Namun demikian, terdapat persoalan dan kebingungan yang terjadi dalam prakteknya baik yang menyangkut konsepsi pengetahuan itu sendiri maupun praktek manajemen pengetahuan. Selain itu, semakin luas dan kompleksnya kajian manajemen pengetahuan dapat memperparah kebingungan tersebut.
Alternatif solusinya adalah : pertama, melakukan klarifikasi atas konsepsi pengetahuan; dan yang kedua, mengupayakan pemetaan atas hasil kajian manajemen pengetahuan yang ada selama ini. Manfaat dari upaya ini tentu menyediakan petunjuk bagi praktek manajemen pengetahuan dan arahan bagi solusi atas persoalan pengetahuan dalam organisasi, serta memberikan peta peluang bagi pengembangan teori manajemen pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Barton, D. L. 1995. Wellsprings of knowledge : building and sustaining the sources of innovation. Boston : Harvard Business School Press.
Buckley, P.J., & Carter, M.J. 2000. “Knowledge management in global technology markets : applying theory to practice”. Long Range Planning, Vol. 33.
Choo, C.W. 1998. The knowing organization : how organizations use information to construct meaning, create knowledge, and make decisions. New York : Oxford University Press.
De Long, D.W. & Seemann, P. 2000. “Confronting conceptual confusion and conflict in knowledge management”. Organizational Dynamics, Vol. 29, No. 1, pp. 33-44.
Huseini, M. 1999. “Mencermati misteri globalisasi: menata-ulang strategi pemasaran internasional Indonesia melalui pendekatan resource-based”. Pidato Pengukuhan Guru Besar UI, 25 September.
Nonaka, I. & Takeuchi, H. 1995. The knowledgecreating company : how Japanese companies create the dynamics of innovation. New York: Oxford University Press.
Nonaka, I., Toyama, R., & Konno, N. 2000. “SECI, ba, and leadership : a unified model of dynamic knowledge creation”. Long Range Planning, Vol. 33
Prichard, C., Hull, R., Chumer, M., & Willmott, H., ed. 2000. Managing knowledge : critical investigations of work and learning. New York: St. Martin’s Press.
Scarbrough, H. & Swan, J. 2001. “Explaining the diffusion of knowledge management : the role of fashion”. British Journal of Management , Vol. 12, pp. 3-12.
Scott, M.C. 2000. Reinspiring the corporation : the seven seminal path to corporate greatness. Chichester : John Wiley & Sons, Ltd. Senge, P.M. 1994. The fifth discipline : the art and practice of the learning organization. New York : Currency Doubleday.
Teece, D. 2000. “Strategies for managing knowledge assets : the role of firm structure and industrial context”. Long Range Planning, Vol. 33.
Tuomi, Ilkka. 1999. Corporate knowledge : theory and practice of intelligent organizations. Helsinki : Metaxis.
Zolingen, S.J. van, Streumer, J.N., Stooker, M. 2001. “Problems in knowledge management : a case study of a knowledge-intensive company”. International Journal of Training and Development (5 : 3).